Coklat dan Pria Misterius
Oleh : Nurfadhilah Bahar
Kemarin, aku lagi-lagi mendapati sebuah batangan cokelat panjang dan kertas putih berisi goresan sajak-sajak indah yang tergeletak di atas mejaku. Cokelat yang harganya sangat mahal itu tak menutup kemungkinan bahwa cokelat ini sungguh menggugah selera. Kunikmati setiap detik aroma dan rasa potongan cokelat yang kini meledak-ledak dilidahku. Dan ternyata lidah ini tak pernah mau berhenti untuk mencoba.
Dan sajak-sajak itu, ah, aku bahkan sering membacanya berulangkali. Kata-kata yang mampu membuatku merasa berada diatas langit. Tapi, pikiranku masih berkelebat tentang siapa yang mengirim cokelat dan surat cinta ini untukku. Jelas-jelas tertera namaku, ‘Dear, Lusy’. Kenapa dia tahu kalau aku sangat menyukai cokelat? Aku tidak ingin membiarkan beribu pertanyaan mengelabui otakku.
Hari ini, tanggal 14 februari. ‘Hari Valentine’. Tak seperti biasanya, aku datang lebih awal. Sebenarnya, aku ingin menyelidiki siapa yang selama ini memberiku coklat setiap hari.. Ruangan kosong dan bangku-bangku nampak kesepian. Sedikit lega karena cokelat itu belum kelihatan diatas meja. Aku celingak-celinguk untuk memastikan kalau belum ada orang yang berani menyelinap masuk kekelas pagi ini.
Aku mulai duduk rapi di mejaku. Kuletakkan beberapa buku tebal yang sedari tadi berada dalam genggamanku masuk kedalam laci. Ketika tanganku meraba-raba kedalam, aku merasa memegang sebuah benda yang berbentuk persegi panjang. Tidak salah lagi, ini pasti cokelat itu lagi. Tapi, tumben kali ini tidak ada surat cintanya.
“Sial! Lagi-lagi aku tidak menemukan pria misterius itu,” runtukku kesal.
Tiba-tiba aku merasakan bulu kudukku merinding. Memang, ada sesuatu aneh yang saat ini kurasakan. Dan sepertinya ada seseorang yang menyentuh pundak kiriku. Aku terlonjak kaget diiringi teriakanku yang menajam. Aku berbalik dan ternyata, “Selamat hari valentine, sayang.” Rini memberiku pelukan. Mungkin ia merasakan kalau jantungku dag dig dug saat itu.
“Lo apa-apaan sih! Bikin gue kaget aja!” kataku ketus.
“Hehe, maaf. Sengaja mau ngagetin lo. Tumben datang lebih awal?”
“Gue mau nyelidikin pelaku pengiriman cokelat ini. Tapi ternyata aku telat lagi.”
“Oooh. Eh, lo tau nggak. Kemarin malam teman kita Ramli kecelakaan.”
“Apa? Serius loe? Ramli teman sekelas kita itu?” Rini mengangguk perlahan.
“Kok nggak ada yang ngabarin gue sih?”
“Iya, Lus. Gue juga dapat kabarnya baru pagi ini.”
“Trus, keadaan Ramli gimana, Rin?”
“Dia,,, Dia,, meninggal, Lus. Pemakamannya sebentar siang.” Wajah Rini berubah menjadi murung.
“Kasian banget si Ramli.” Hening. Kami mendadak diam merenungi nasib si Ramli yang jenius itu. Orangnya baik hati, cerdas, dan manis pula. Aku tidak menyangka dia pergi secepat itu.
Tiba-tiba seorang pria jangkung berdiri tepat dihadapanku. Wajahnya nampak murung dan sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu padaku.
“Ada apa, Ton?”
“Aku pengen ngomong sesuatu sama kamu. Lusy, sebenarnya yang sering ngasih kamu coklat dan surat cinta itu…”
“Jadi elo yang ngasih gue coklat?” tanyaku dengan nada yang sedikit melonjak tak percaya.
“Bu… bu.. kan, Lus. Tapi, Ramli!”
“Hah?!” Aku makin tak percaya. Bagaimana mungkin Ramli. Aku benar-benar membutuhkan penjelasan sedetail mungkin.
“Gini, Lusy. Kemarin malam aku menemani Ramli kesebuah toko coklat sebagai hadiah valentine untuk loe. Dia berencana untuk mengakui semua kebodohannya sebagai pengagum rahasia, loe. Dia akan berterus terang kalau sebenarnya dia suka sama loe, Lusy. Tapi, aku tak percaya kalau ternyata takdir berkata lain. Ketika dia hendak menyebrang jalan untuk menyusulku, tiba-tiba sebuah mobil melaju kencang dan akhirnya dia tewas.” Kisah yang sangat tragis. Dan buliran air mataku jatuh satu persatu.
“Jika kemarin malam, Ramli tewas. Trus siapa yang mengirimkan cokelat pagi ini untukmu?” seru Rini yang membuat mukaku bertambah pucat. Kini aku menangis meraung-raung. Bukan karena Ramli meninggal, tapi cokelat yang kini berada digenggamanku yang tak tau siapa pengirimnya. Mungkin cokelat ini adalah cokelat terakhirku.
***
dimuat dalam buku antologi flash fiction "Choco-Love" terbitan MetaKata
Dan sajak-sajak itu, ah, aku bahkan sering membacanya berulangkali. Kata-kata yang mampu membuatku merasa berada diatas langit. Tapi, pikiranku masih berkelebat tentang siapa yang mengirim cokelat dan surat cinta ini untukku. Jelas-jelas tertera namaku, ‘Dear, Lusy’. Kenapa dia tahu kalau aku sangat menyukai cokelat? Aku tidak ingin membiarkan beribu pertanyaan mengelabui otakku.
Hari ini, tanggal 14 februari. ‘Hari Valentine’. Tak seperti biasanya, aku datang lebih awal. Sebenarnya, aku ingin menyelidiki siapa yang selama ini memberiku coklat setiap hari.. Ruangan kosong dan bangku-bangku nampak kesepian. Sedikit lega karena cokelat itu belum kelihatan diatas meja. Aku celingak-celinguk untuk memastikan kalau belum ada orang yang berani menyelinap masuk kekelas pagi ini.
Aku mulai duduk rapi di mejaku. Kuletakkan beberapa buku tebal yang sedari tadi berada dalam genggamanku masuk kedalam laci. Ketika tanganku meraba-raba kedalam, aku merasa memegang sebuah benda yang berbentuk persegi panjang. Tidak salah lagi, ini pasti cokelat itu lagi. Tapi, tumben kali ini tidak ada surat cintanya.
“Sial! Lagi-lagi aku tidak menemukan pria misterius itu,” runtukku kesal.
Tiba-tiba aku merasakan bulu kudukku merinding. Memang, ada sesuatu aneh yang saat ini kurasakan. Dan sepertinya ada seseorang yang menyentuh pundak kiriku. Aku terlonjak kaget diiringi teriakanku yang menajam. Aku berbalik dan ternyata, “Selamat hari valentine, sayang.” Rini memberiku pelukan. Mungkin ia merasakan kalau jantungku dag dig dug saat itu.
“Lo apa-apaan sih! Bikin gue kaget aja!” kataku ketus.
“Hehe, maaf. Sengaja mau ngagetin lo. Tumben datang lebih awal?”
“Gue mau nyelidikin pelaku pengiriman cokelat ini. Tapi ternyata aku telat lagi.”
“Oooh. Eh, lo tau nggak. Kemarin malam teman kita Ramli kecelakaan.”
“Apa? Serius loe? Ramli teman sekelas kita itu?” Rini mengangguk perlahan.
“Kok nggak ada yang ngabarin gue sih?”
“Iya, Lus. Gue juga dapat kabarnya baru pagi ini.”
“Trus, keadaan Ramli gimana, Rin?”
“Dia,,, Dia,, meninggal, Lus. Pemakamannya sebentar siang.” Wajah Rini berubah menjadi murung.
“Kasian banget si Ramli.” Hening. Kami mendadak diam merenungi nasib si Ramli yang jenius itu. Orangnya baik hati, cerdas, dan manis pula. Aku tidak menyangka dia pergi secepat itu.
Tiba-tiba seorang pria jangkung berdiri tepat dihadapanku. Wajahnya nampak murung dan sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu padaku.
“Ada apa, Ton?”
“Aku pengen ngomong sesuatu sama kamu. Lusy, sebenarnya yang sering ngasih kamu coklat dan surat cinta itu…”
“Jadi elo yang ngasih gue coklat?” tanyaku dengan nada yang sedikit melonjak tak percaya.
“Bu… bu.. kan, Lus. Tapi, Ramli!”
“Hah?!” Aku makin tak percaya. Bagaimana mungkin Ramli. Aku benar-benar membutuhkan penjelasan sedetail mungkin.
“Gini, Lusy. Kemarin malam aku menemani Ramli kesebuah toko coklat sebagai hadiah valentine untuk loe. Dia berencana untuk mengakui semua kebodohannya sebagai pengagum rahasia, loe. Dia akan berterus terang kalau sebenarnya dia suka sama loe, Lusy. Tapi, aku tak percaya kalau ternyata takdir berkata lain. Ketika dia hendak menyebrang jalan untuk menyusulku, tiba-tiba sebuah mobil melaju kencang dan akhirnya dia tewas.” Kisah yang sangat tragis. Dan buliran air mataku jatuh satu persatu.
“Jika kemarin malam, Ramli tewas. Trus siapa yang mengirimkan cokelat pagi ini untukmu?” seru Rini yang membuat mukaku bertambah pucat. Kini aku menangis meraung-raung. Bukan karena Ramli meninggal, tapi cokelat yang kini berada digenggamanku yang tak tau siapa pengirimnya. Mungkin cokelat ini adalah cokelat terakhirku.
***
dimuat dalam buku antologi flash fiction "Choco-Love" terbitan MetaKata
0 komentar: