Cerpen : Kuas Pemberian Mama
Oleh : Nurfadhilah Bahar
Hari
demi hari yang terus berlalu. Seorang gadis kecil duduk termenung diatas kursi
roda di taman belakang rumah. Wajahnya yang selalu ceria, kini tampak murung
menatap awan putih yang terus berjalan. Rambutnya ikal berwarna hitam, kulit
putih, pipinya yang tembam bak buah tomat, matanya begitu indah dan alisnya
yang tebal. Sungguh cantik gadis itu.
“Neng
Tari,” sapanya tersenyum kepada Mentari.
“Ada
apa Bibi?” tanyanya menoleh kearah bibinya. Bibi Ira menyodorkan kanvas putih
dan cat air yang di genggamnya.
“Neng
Tari pasti membutuhkan ini. Pemandangannya indah loh.” Mentari tersenyum
kegirangan dan meraih dua benda tersebut.
“Bibi
tau aja deh! Makasih ya, Bi,” jawabnya. “Hmm, sepertinya ada yang kurang deh,
Bi?” tanyanya ketika Bibi hendak kembali masuk ke dalam rumah. Bibi menatapnya
bingung.
“Kalau
tak ada benda itu, mana mungkin Mentari bisa melukis,” katanya sedikit manja.
Bibi baru teringat sesuatu.
“Oh
iya. Bibi emang suka kelupaan. Maaf ya Neng. Bibi ambil dulu sebentar,” katanya
dan segera berlari kecil masuk ke dalam rumah mengambil benda yang dimaksud
Mentari.
“Bibi
kebiasaan deh, suka lupa terus. Mana mungkin Mentari melukis tanpa kuas,”
gerutunya sedikit kesal. Tak lama kemudian Bibi kembali lagi dengan membawa
kuas panjang yang sangat indah. Kuas itu pemberian Mama.
Mentari adalah gadis kecil yang suka
melukis. Impiannya adalah menjadi pelukis terkenal seperti idola Mamanya, Leonardo
da Vinci. Walaupun umurnya masih terlalu muda untuk menghadapi tantangan hidup,
tapi semangatnya selalu berkobar. Mentari terlahir di dunia ini tanpa sebuah
lengan dan kaki. Ia hanya memiliki satu kaki kiri dan satu lengan kanan. Namun,
ia masih bersyukur karena banyak orang-orang yang begitu sayang pada dirinya.
Mama adalah satu-satunya orang yang selalu memberikan makna kehidupan yang
lebih berharga bagi Mentari. Memberi inspirasi dan semangat hidup sehingga ia
masih bisa bertahan hingga saat ini.
Mentari tak lagi punya Papa. Bahkan,
ia tak pernah melihat sosok Papanya seperti apa. Selama ini, yang membesarkan
Mentari hanyalah Mama, Bibi Ira dan Mang Jaja yang telah lama mengabdi pada
keluarganya. Namun, penderitaan itu terus berpihak kepada Mentari yang malang.
Setahun yang lalu, dimana Mentari berumur 7 tahun, sosok Mama yang di
idolakannya mengalami kecelakaan dan akhirnya meninggal dunia. Tangisan yang
histeris melanda keluarga sederhana itu. Bibi Ira dan Mang Jaja adalah
satu-satunya harapan Mentari yang akan mengasuhnya hingga dewasa.
Bibi terpaksa harus meninggalkan
pekerjaan rumah yang menumpuk. Mentari memaksanya duduk untuk menemaninya
melukis. Mentari mulai menari-narikan kuas di atas kanvas sambil mengamati awan
yang hendak berubah bentuk entah menjadi apa.
“Bi,
Mama lukisannya bagus ya? Nggak seperti lukisan Mentari yang jelek banget.”
Mendengar kata “Mama”, raut wajah Bibi berubah menjadi sedih.
“Siapa
bilang lukisan Neng Tari jelek. Lihat tuh langit diatas, mirip dengan lukisan
Neng Tari,” jawab Bibi sambil menunjuk langit.
“Yang
bener, Bi?” Bibi mengangguk tersenyum. “Seandainya Mama melihat lukisan
Mentari, pasti Mama sangat senang karena Mentari sudah bisa melukis seperti
Mama,” ujarnya begitu antusias. Bibi hanya tersenyum mengelus-elus rambut ikal
Mentari.
“Mama
selalu mengawasimu, sayang. Ia telah berada diatas langit itu. Berada di surga
dan suatu saat Neng Tari pasti akan menyusul Mama kesana.”
“Tapi
kapan, Bi? Mentari kangen sama Mama. Mentari ingin sekali segera menyusul Mama ke
surga.”
“Bukan
saatnya, sayang. Neng Tari masih dibutuhkan disini,” jawab Bibi mantap.
***
Pagi yang sangat cerah.
Burung-burung mulai bernyanyi sambil berayun di dahan-dahan pohon. Fajar di
ufuk timur membentang luas sehingga memasuki celah-celah ventilasi jendela
kamar Mentari. Mentari terbangun dan segera bangkit meraih tongkatnya yang
bersandar di dinding samping tempat tidurnya. Ia membuka jendela lebar-lebar
seraya berkata, “Selamat pagi mentari? Semoga sinarmu hari ini, membuat Mentari
lebih bersemangat,” ucapnya ceria. Ya, setiap pagi Mentari menyapa mentari.
Pagi ini, Mentari bersiap-siap ke
sekolah. Peralatan sekolah telah dipersiapkannya setiap malam agar tidak lagi
kewalahan ketika berangkat sekolah. Ia begitu senang karena di sekolah ia akan
belajar melukis. Peralatan melukis ia masukkan kedalam tasnya terutama kuas
kesayangannya. Setelah selesai sarapan, Mang Jaja mengeluarkan mobil dan
membawa Mentari menuju sekolahnya.
Suasana kelas menjadi heboh ketika Mentari
mengeluarkan kuas indah pemberian Mamanya. Teman-teman sekelasnya
terkagum-kagum melihat keindahan kuas Mentari yang terbuat dari kaca dan
berwarna kuning keemasan.
“Wahh,
kuas Mentari cantik sekali,” ujar Rosa yang sedang memegang kuas Mentari.
“Benar.
Kamu beli dimana Mentari?” tanya Citra serasa ingin sekali memiliki kuas itu.
“Itu
pemberian almarhum Mama Mentari,” jawabnya tersenyum bahagia.
“Aku
belum pernah liat kuas seperti itu. Jangan-jangan itu kuas ajaib, Mentari. Coba
aku pinjam!” Tania merebut kuas itu dari tangan Rosa yang sedang menikmati
keindahannya.
“Ah,
kalian ada-ada saja. Mana ada kuas ajaib,” jawab Mentari cekikikan. Kuas itu
terus diperebutkan oleh teman-temannya membuat seluruh kelas menjadi ramai.
Tiba-tiba,
pyaarr! Kuas itu terjatuh dan pecah
menjadi dua bagian. Suasana kelas mendadak hening. Tak ada yang berani
bersuara. Wajah mentari menjadi merah padam. Ia benar-benar marah.
Teman-temannya saling tuduh menuduh. Tak ada yang mau mengakui kesalahannya.
“Sudah!
Apa yang kalian lakukan pada kuas kesayanganku?” tanyanya penuh rasa benci pada
semua yang ada di kelas itu. Tak ada jawaban. Bukan karena takut, tapi baru
kali ini Mentari marah sebesar itu kepada semua orang.
“Mengapa
kalian diam?”
“Maafkan
kami Mentari. Kami akan membelikanmu kuas yang jauh lebih cantik,” ungkap Citra
yang merasa sangat bersalah.
“Nggak!
Aku tidak butuh itu.” Dengan sangat kecewa, ia segera beranjak dari tempat
duduknya meraih tongkat dan mengambil kembali kuas pecah itu.
Ia menatap lesu batang kuas yang
terpecah belah. Tak akan mungkin bisa utuh kembali seperti semula. Bahkan lem
sekuat apa pun tak akan mampu menyatukannya kembali. Satu-satunya benda
peninggalan Mama dan Mentari begitu bersalah tak mampu menjaga benda berharga
itu.
Malam begitu sempurna ketika bintang
yang berkelap-kelip mulai bermunculan satu per satu. Nampaknya, malam ini
sangat berbeda dengan malam-malam kemarin. Entah mengapa rindu itu semakin
mencekam. Mentari merindukan Mama dan Papa. Bagaimana pun wujud Papanya, ia
akan selalu mengenangnya. Sebuah lukisan yang terpampang di dinding kamarnya.
Lukisan sederhana namun memiliki makna yang luar biasa. Di sana terdapat gambar
Mama dan Papa yang sedang berdampingan menggenggam tangan. Disamping Mama ada
Bibi Ira dan disamping Papa ada Mang Jaja. Mentari menggambarkan dirinya sedang
berada di tengah-tengah keluarga kecil itu. Berdiri tegak dan tersenyum manis
tanpa tongkat maupun kursi roda. Sangat sempurna.
Tanpa terasa, Mentari terlelap.
Begitu lelah karena seharian memendam kesal. Rambut ikalnya bergelombang ditiup
angin malam yang masuk kedalam jendela kamar yang terbuka lebar. Ada yang
ganjil diluar sana. Rembulan yang meredup seketika berubah menjadi terang
benderang memancarkan cahaya yang menyilaukan. Putih. Seluruh jagat raya
terlihat berwarna putih. Daun-daun, ranting-ranting pohon berayun-ayun tertiup
angin kencang. Sementara bintang-bintang berubah formasi menjadi lebih indah
dari sebelumnya.
Cahaya bulan itu bagaikan pedang
samurai yang mengkilat membelah langit. Cahaya itu menembus ruang-ruang dan
mengenai kuas Mentari yang tergeletak tak berdaya diatas meja belajarnya. Aneh
bin ajaib. Lima detik setelah mengenai benda pecah itu, semua kembali seperti
semula ketika Mentari terjaga dalam tidurnya. Mungkin ia merasakan keganjilan
itu. Matanya yang sipit mengamati sekelilingnya. Bulan kembali meredup,
pohon-pohon diam seakan tak bernyawa, bintang-bintang tak berubah sedikit pun,
dan jendela kamar tertutup rapat. Mentari bingung. Apa yang membuatnya
terbangun. Namun, ada secercah cahaya yang berasal dari meja belajar tepat
dibawah jendela kamar. Mentari menggosok-gosok matanya untuk melihat kepastian
itu.
Mentari terperangah melihat sebuah
batang kuas yang masih utuh. Terlihat sempurna dari sebelumnya. Ia mencoba
meraih kuas itu. Matanya yang bening bersinar kala menatap cahaya yang
terpancar dari batang kuas. Ia sesegera mungkin mengambil kanvas dan melukiskan
sesuatu. Ajaib. Semuanya bergerak dengan sendirinya. Tangannya lincah melukis
tanpa menggunakan cat air. Seketika lukisan itu menjadi nyata dan hidup.
“Wah, hebat! Aku akan mencoba
menggambar wajah Mama. Semoga Mama bisa ada disini,” serunya riang. Ia pun
segera melukis. Raut wajah Mamanya terlukis sempurna, namun tak ada reaksi sama
sekali. Tiba-tiba, ruangan berguncang hebat. Foto dan lukisan-lukisan yang
terpampang di dinding berjatuhan. Mentari menjadi ketakutan. Sesaat kemudian,
guncangan itu mereda. Suara decitan pintu terdengar dan dibalik pintu itu
terlihat sosok Mama yang tersenyum hangat kepada Mentari.
Mentari berteriak kegirangan,
“Mama!”
“Iya
sayang. Ini Mama.” Mentari berjalan kearah Mama dan tak sabar ingin memeluknya.
Namun, sosok itu tidak nyata. Ia tak dapat menyentuh Mama yang hanya
bayang-bayang semu.
“Mama,
ada apa ini?” tanya Mentari bingung.
“Semua
tak ada yang abadi sayang. Mentari harus menerima kenyataan itu,” jawab Mama
tersenyum simpul. “Bangkitlah Mentari. Bangkitlah, Bangkitlah!!” kata-kata itu
terus terngiang seiring menghilangnya Mama dari pandangannya.
***
“Mama!!!” teriak Mentari memecahkan
kesunyian disepertiga malam itu. Keringatnya bercucuran deras dipelipisnya.
Bibi yang mendengar teriakan itu segera memasuki kamar Mentari.
“Neng Mentari mimpi ya?” Mentari
mengangguk. Bibi memberi air minum.
“Tadi,
Mentari ketemu Mama,” jawabnya singkat dengan tatapan kosong. Bibi memeluk
Mentari dan mengelus-elus kepalanya. Mentari melirik ke arah kuas yang
tergeletak di atas meja belajarnya. Masih tetap sama, kuas itu mungkin tak akan
kembali seperti semula. Memang, semua tak ada yang abadi.
***
*Dimuat dalam buku antologi bersama "Gemerlap Dunia Anak" (januari 2014)*
keren neng tingkatkan terus yea heheheh
ReplyDelete