Afgan Idamanku

6:27 AM Unknown 0 Comments



By: Nurfadhilah Bahar

            Aku tak sanggup melihat wajahnya yang sungguh memesona. Rambutnya sedikit gondrong dan ikal. Kulitnya yang kecokelatan dan memakai kacamata. Lesung pipit yang menggairahkan. Benar-benar  tipe cowok yang ku idam-idamkan. Gayanya yang keren mirip artis beken. Afgan. Ya, aku sering menyebutnya Afgan semenjak aku belum kenal namanya. Walaupun saat ini aku sudah tahu namanya yang asli, aku akan tetap menyebutnya Afgan. Karena wajahnya selalu mengalihkan duniaku.
***
            Handphone ku bergetar.  Aku mendelik ketika sedang asyik masyuk larut ke dalam novel yang saat ini menemaniku. Bagiku, tak ada yang menyenangkan ketika membaca SMS. Tak perlu berdebat, karena selalu ku tebak bahwa SMS yang masuk ke handphone-ku  hanya beberapa info-info dari ketua tingkat tentang agenda mata kuliah, atau SMS dari operator TELKOMSEL, atau nomor-nomor nyasar yang minta pulsa. Akhh,, mengganggu rutinitasku saja. Tapi, aku tak segampang itu membuang rasa penasaran untuk segera mengabaikan pesan yang tertera di layar Hp. Ku coba memencet tombol dan membaca pesan itu.
Dari : 089xxxxx
            Hai, kmu Ray kan? Anak jurusan Fisika?
Nah, SMS yang seperti ini yang ku tunggu-tunggu. Ternyata, ada juga yang mengenalku tanpa aku mengenalinya. Bukannya aku Geer sih, tapi fans aku akhir-akhir ini nggak bisa di hitung. Boleh di bilang, teman aku yang cewek juga sering menyapa aku saat aku berpapasan dengannya. Tanpa berpikir panjang, aku segera mengutak-atik tombol huruf dan segera mengirim pesan.
            Iya. Maaf, ini siapa?
Terkirim : 089xxxxx
            Sambil menunggu balasan darinya, aku melanjutkan membaca novel yang ceritanya sudah ada pada konflik yang paling puncak. Tak berselang lama, Hp ku bergetar lagi membuat konsentrasi ku buyar. Aku pun menutup rapat novel dan meletakkannya di rak buku.
Dari : 089xxxxx
            Ma2f, ganggu. Aku Aga.
“Apa? Aga? Tapi, ini Aga siapa yah?” Batinku.  Aku berhenti sejenak. Berpikir siapa sebenarnya yang memberi aku pesan singkat ini. Aku memutar otak. Sejauh ini, di kampus aku tak mengenal nama Aga. Kenalan lama pun tak punya.
Tapi aku punya satu nama yang sampai saat ini mencoba menarik-narik perasaanku. Aga, Fakultas yang sama denganku, tapi jurusan yang berbeda. Walaupun dia mungkin tidak mengenal ku, karena aku adalah pengagum rahasianya. Ah, tidak mungkin. Dia sama sekali tidak mengenalku. Hanya aku yang sering mencuri-curi pandang untuk melihat wajahnya yang manis. Ku harap dia benar-benar Afgan.
            Maaf. Ini Aga siapa ya?
Terkirim : 089xxxxx
Drrrtttt!
Dari : 089xxxxx
            Gue Aga Hermawan. Jurusan Kimia, semester lima. Kenal nggak?
            “What?” Aku mendelik tak percaya. Dugaanku benar. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya, kebat-kebit deh pokoknya. Tapi, apakah ini benar-benar Afgan ku yang manis? Mana mungkin Ia bisa tahu nomor Handphone aku? Atau jangan-jangan ada yang berani ngerjain aku? Beribu tanda tanya yang berbenih akhirnya tumbuh merambah di otakku. Aku tak akan sepenuhnya percaya. Tapi, yang tahu kalau aku suka sama Afgan itu hanya beberapa teman dekatku saja. Aku segera membalasnya. Tak tik tuk.
            Maaf ya, aq gak kenal. Tau dari mana nama dan nomor Hp ku?
 Terkirim : 089xxxxx
Terpaksa aku berbohong. Aku tak segampang itu bisa mempercayai kata orang, apalagi hanya mengobrol lewat SMS, bisa saja yang kita harapkan tak seperti yang kita duga.
Drrrtttt!
            Gue sering ngeliat elo kok. Lu Ray kan? Ya, Karna lu gak kenal gue, bsok kta ketemu di lobi fakultas jam 10. Oke?
Sungguh! Jantungku tak berhenti berdetak kencang. Malah lebih parah. Aku segera meraih bantal guling dan memeluknya sambil senyum-senyum sendirian. Menatap cermin dengan tatapan malu-malu dan loncat-loncat. Ada perasaan aneh yang saat ini kurasakan. Bahagia. Sangat Bahagia. Apakah mungkin itu adalah Aga Hermawan, yang selama ini aku kagumi ketampanannya? Kalau memang ada yang sedang ngerjain aku, tidak mungkin ia mengajakku ketemuan. Hal yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Apa aku sanggup menatap wajahnya saat aku berhadapan dengannya?
***
            Pagi ini aku ada kelas di lantai empat. Setelah kuliah, aku begitu antusias tak sabar ingin bertemu dengannya. Ku lirik jam tanganku, menandakan pukul sepuluh lewat. Hp ku bergetar. SMS darinya, “Lagi dimana? Gue udah ada di lobi.”
“Gue  segera kesana,” balasku.
Dengan perasaan yang deg-degan, aku berlari kecil menuruni tangga menuju lantai satu. Benar, dia sedang berdiri menungguku. Oh My God, lagi-lagi jantungku bergetar hebat, sangat hebat. Aku tak dapat menenangkan jantungku agar kembali normal. Apa aku sanggup menatap wajahnya? Lagi-lagi pertanyaan itu membuatku tidak Pede bertemu dengannya.  
            Aku melihatnya dari belakang. Ia sedang berdiri bersandar di tembok sambil mengutak-atik handphone-nya. Guileee,, cakep bener tuh cowok. Wajahnya yang hitam manis, berkacamata, rambutnya yang lebat, dan berkumis tipis. Hatiku mulai panas. Seperti biasa berdebar tak keruan. Memperbaiki posisi jilbab yang miring kiri kanan dan mencoba menyapanya.
            Ia menoleh. Tersenyum manis membuat jantungku nyaris copot. Kakiku terasa lemas dan loyo.
            “Kenalin, gue Aga,” sapanya mengulurkan tangan. Aku membalas uluran itu dengan tangan bergetar menahan rasa bahagia.
            “Gue Ray.” Aku menggigit bibir. Tersenyum.
            Perkenalan itu singkat saja. Kita pun tak banyak bicara. Dia yang selalu bertanya tentang diriku. Menanyakan tempat tinggalku, hobby-ku, dan pertanyaan yang membuatku ingin lompat-lompat adalah apa lu udah punya pacar? Bagaimana aku bisa banyak bicara jikalau diri ini terkungkung oleh rasa malu lantaran berhadapan dengannya. Pipi merah merona ketika mendapatkan senyumnya.
***
            “Lo sekarang udah percaya kan kalau Afgan itu suka sama gue? Iya kan? Ternyata feeling gue nggak salah,” ujarku ke Keke sambil senyum-senyum sendirian. Keke yang sedang asyik masyuk membaca buku melirikku sejenak dan kembali membaca bukunya.
            “Afgan itu malah tambah cakep loh diliatin dari jarak deket.”
            “Namanya bukan Afgan. Aga!” celetuk Keke mulai sebel dengan tingkah gila ku.
            “Bodoh amat. Bagi gue dia tetap Afgan. Walau tak sepenuhnya dia mirip sih! Malah Afgan palsu lebih cakep dari yang asli.” Keke menimpuk gue dengan sapu tangan bekas ingusnya.
            “Iyuh… Jorok banget sih lu!” Sambil melempar kembali sapu tangan ke arahnya.
            Keke tertawa dan menutup bukunya.
            “Lo beruntung ya Ray. Cinta lo nggak bertepuk sebelah tangan. Lah, gue… Dilirik sama cowok idaman gue aja nggak pernah.” Keke mengambil bantal dan memeluknya.
            “Jangan berkecil hati gitu dong, Ke. Gue yakin lo bisa dapat yang lebih baik dari si Farhan itu. Buat apa sih lo pertahankan dia yang tak pernah sekali pun mencintai lo?” Kasihan juga sahabatku yang satu ini. Sejak lama ia menaruh hati pada lelaki yang telah menjadi milik orang lain. Ironis banget yah kisah percintaannya.
            “Gue udah berusaha ngelupain dia. Mengingat-ingat kelakuan buruk dia agar gue bisa ilfil. Tapi, itu malah buat gue makin cinta padanya, Ray. Apa yang harus gue lakuin?” rengek Keke.
            Tunggu dulu! Mengapa malah Keke yang jadi curhat tentang perasaannya? Tadinya kan aku yang harus curhat tentang kebahagiaanku kemarin bertemu Afgan palsu. Tapi tak apalah. Itulah gunanya persahabatan, saling curhat satu sama lain.
            “Cari penggantinya, Keke. Kan udah gue bilang berkali-kali. Lu harus cari cowok yang lebih keren dari dia. Farhan tuh benar-benar resek. Udah tahu lo naksir dia, eh dia malah menghindar.”
            “Nggak ah! Gue udah nyerah. Gua udah pernah coba cara itu. Tetap saja cinta gue bertepuk sebelah tangan.”
            “Ya ampun..  Come-on, guys! Lo jangan putus asa gitu dong. Gue yakin lo pasti bakal dapat yang berbaik. Jangan pesimislah…”
            “Basi kata-kata lo, Ray! Udah Sembilan belas tahun gue hidup di dunia ini. Selama ini gue belum pernah mengalami namanya jatuh cinta yang sesungguhnya. Selama itu pula gue sendiri tanpa pernah mengalami rasa yang pernah lu rasain ke cowok. Dan saat gue mulai ngerasain jatuh cinta itu Ray…. sungguh sakiiitt rasanya jika cinta itu hanya dirasakan oleh diri kita sendiri.” Keke menatap jendela kamar dibelakangku. Nelangsa. Hiks…
            Aku tak tahu harus ngomong apa lagi. Tak ada kata yang mampu kuucapkan mendengar kegetiran hatinya. Aku juga pernah merasakan apa yang pernah dirasakan olehnya. Dan memang itu sangat menyakitkan sekali.
            “Sepertinya, gue bakal ngerasa sepi selamanya, Ray. Selamanya…” Gue menetapnya prihatin dan mengelus bahunya. Memberi isyarat bahwa jodoh pasti bertemu.
***
            Malam ini aku dapat SMS dari Afgan alias Aga. Aku senang bukan main. Tingkahku di belakangnya seperti anak-anak ABG yang baru jatuh cinta. Aku sudah menjomblo selama dua tahun setelah aku merasakan sakitnya di sakiti. Saat itu aku tak pernah lagi percaya pada lelaki manapun. Aku yakin semua lelaki itu memiliki tabiat yang sama. Selama dua tahun itu aku menolak cinta cowok-cowok sinting gila miring yang hanya melihatku dari penampilan fisik saja. Dan selama dua tahun itu pula tak satu pun cowok yang menarik perhatianku. Tapi mengapa dengan Aga ini beda? Ia menemukan kunci dan membuka pintu hatiku yang tertutup rapat.
            Satu yang kusuka dari cowok yang satu ini. Ia tak suka berbasa-basi. Aga tidak banyak bertanya tentang hal-hal yang sering di-kepoin cowok-cowok. Lagi ngapain?, udah makan belon?, udah tidur belon? dan bla…bla..bla... Ah, ini hanya pertanyaan basa-basi. Sok perhatian. Emang nggak ada pertanyaan lain apa! Misal, “kalau habis makan, udah pup belon?” *Plak!
            Oke  fix! Aga ngajak aku dinner malam minggu. Lo tahu kan gimana hati ini? Senanglah! Aku milih baju yang oke menurut versiku, dengan gaya super lente menjelang ia jemput pas depan toilet, eh maksud ku depan pagar rumah.
            Suara klakson motornya membuatku riang. Kalau di sinetron-sinetron biasanya memakai mobil Honda Jazz, tapi si Aga hanya pakai motor, itu pun butut banget. Tenang, Afgan-ku. Gue nggak bakal nuntut buat ganti motor butut lu, kok. Gue bukan cewek matre seperti kebanyakan cewek lainnya.
            Aku diboncengin Aga seperti ngerasa di bonceng sama Afgan beneran. Mulai dari kacamatanya, lesung pipitnya yang dalem bin ajaib, gaya rambutnya yang lebat kalaupun banyak ketombenya kagak ape-ape deh, dan pakaiannya yang modis tak ketinggalan jaman. Pokoknya malam ini indaahh banget. Serasa dunia milik kami bertiga: aku, Aga, dan motor bututnya.
            Sekarang motor butut Aga berhenti. Hati ku mulai ciut. Di dalam benakku selama tadi diboncengin Aga, terbayang-bayang masakan restoran yang mematuk-matuk hidung karena harga dan baunya yang menggairahkan. Dengan lilin-lilin yang menerangi meja makan kita. Fiuh, tempat yang romantis. Ternyata itu semua salah tiga ratus enam puluh derajat. Motor butut Aga tepat berhenti di depan gerobak soto Ayam milik Bang Toyyib.
            “Nggak apa-apa kan kita makan di tempat ini?”
            “Iya… nggak apa-apa kok, Kak.” Aku tersenyum walaupun sangat terpaksa. Sejujurnya, hal ini membuatku kecewa. Tapi tak apa, gue kan udah bilang gue bukan cewek matre!
            ”Ray, gue mau ngomong sesuatu ke elo.” Ia menatapku sambil tersenyum lebar.
            Aku mengangguk cepat, tanpa basa-basi. Aku yakin dia akan mengatakan kalau dia suka sama aku. Dan memintaku untuk menjadi pacarnya. Walaupun tempat ini tak seromantis yang ku kira. Takutnya Bang Toyyib dengar percakapan romantis kita. Jadi malukan jadinya… Pulang aja deh Bang Toyyib, di tungguin sama istri dan anak lu tuh!
            “Dari awal gue udah tahu kalau lo benar-benar baik dan begitu sempurna di mata banyak pria.” Widihh,, kata-katanya bikin perut gue langsung mules.
“Tapi gue nggak bisa nutupin perasaan ini, Ray. Gue mau bilang… Eng…. kalau gue suka sama temen lo, Keke!”
Glek! Aku mematung. Seakan yang kumakan tertinggal di kerongkonganku. Cepat-cepat ku telan.
Apa gue nggak salah dengar?
            “Gue sebenarnya juga suka sama kamu. Tapi, lo tahu kan sahabat gue, Farhan? Dia itu udah lama naksir lo, Ray. Itu sebabnya gue harus mundur dan memilih Keke sebagai gantinya.”
            “Farhan? Bukannya Farhan udah punya pacar?”
            Aga tertawa. Ia menggelengkan kepalanya.
            “Dia itu berpura-pura punya pacar, Ray. Agar ia tidak menjadi rebutan cewek-cewek di kampus. Hanya elo yang ada di hatinya.”
            Oh Tuhan… Mengapa harus seperti ini? Cinta apakah ini namanya? Cinta segi empat? Ah! Aku nggak ngerti… Aku pikir ini keliru. Benar-benar keliru. Bener-bener resek!
            Kalau memang apa yang diucapkan Aga benar, apa aku harus merelakannya dan menerima Farhan sang pujaan Keke?
            Oke fix! Gue nggak akan menerima siapa pun. Semua cowok benar-benar resek!! Terpaksa harus ngejomblo lagi deh.. Hiks…
***

You Might Also Like

0 komentar: