Malaikat Kiriman Tuhan
Sumber : yuuchan-p.blogspot.com |
Oleh : Nurfadhilah Bahar
Saat hati mulai menombak anak matamu, bagai magnet cinta itu menarik tubuhku. Jantungku berdegup kencang. Dag dig dug! Berdentum-dentum mengalahkan hentakan jarum jam dinding di seperdua malamku. Ah, kau bagai hantu dalam kegelisahan tidurku. Ruang ini terasa sangat gelap, hitam, dan sunyi. Hanya dirimu yang ada. Hanya suaramu yang terdengar. Sudah jelas, kau membuatku jatuh cinta.
***
Pagi ini, Ayah membantuku mengepakkan pakaian ke dalam dua buah koper miliknya. Satu koper berisi baju-baju dan peralatan sekolahku, satu lagi berisi baju-baju Ayah. Seluruh isi lemari nyaris kosong, kasur di ranjang tak berseprai digulung rapi. Tak ada peralatan-peralatan yang penting lagi di rumah ini. Kami akan pindah ke rumah yang lebih besar milik istri baru Ayah. Tentu saja akan menjadi Ibu baru untukku. Sementara rumah ini, akan ku ucapkan selamat tinggal dan selamat datang untuk penghuni keluarga baru.
Seminggu lalu, Ayah menikah dengan seorang janda muda setelah setahun kepergian Mama ke sisi Tuhan. Wanita kaya pemilik beberapa perusahaan swasta di Jakarta. Kau tahu, aku melihatnya tak seperti dengan Ibu tiri yang sering diceritakan dalam beberapa skenario film atau dongeng. Dia sangat baik, penampilannya begitu bersahaja. Dia menyukaiku, seperti ia menyukai Ayah.
Hari ini, aku bertemu dengan anak Mama Rosa yang akan pulang dari Australia. Dia baru saja menyandang gelar sarjana psikologi, di University Cambridge Australia. Ah, aku begitu bahagia. Sekarang, aku telah mempunyai saudara laki-laki. Hal yang ku impikan selama ini akhirnya terwujud.
Namanya, Rangga.
“Selamat datang kembali, sayang. Mama sangat merindukanmu,” sambut Mama Rosa disertai pelukan dan cium hangat untuk putra kesayangannya.
“I miss you too, Mama,” balasnya penuh kerinduan. Lalu, ia mencium tangan Ayah. Rangga sudah tahu perihal Ayah barunya.
“Wah, anakmu sudah besar, ya? tampan lagi,” tutur Ayah sembari menepuk pundaknya. “Bagaimana kuliahmu? Sudah selesai?”
“Thanks, Om. Eh, maksud aku Papa,” jawab Rangga meralat ucapannya. “Aku telah menyelesaikan S1 sekarang.” Kedua orang tua itu tersenyum.
“Maafkan kami sayang, tak bisa menghadiri acara wisuda kamu di Autralia,” sela Mama.
“Oh, no problem, Mom. Seharusnya aku yang meminta maaf karena tak bisa hadir di acara pernikahan kalian,” ucapnya dan kemudian melirik kepadaku. “Oh ini adik baru ku, ya Ma? Cantik sekali. Nama kamu siapa?” tanyanya seraya mengulurkan tangannya.
Aku tersenyum sambil tersipu dan membalas uluran tangan itu. “Airin,” ucapku dengan nada yang penuh semangat. “Pujian kak Rangga terlalu berlebihan,” lanjutku.
Ah, itu cuma awal perkenalanku dengan kakak baruku. Aku sangat senang bisa menjadi seorang adik untuknya.
***
Malam minggu Rangga mengajakku dinner. Ia hanya mengajakku seorang, hingga kami pergi berdua. Aku berusaha tampil secantik mungkin dihadapannya. Memakai baju ala princess. Membayangkan tangannya menyambutku dan menggandengku naik ke dalam mobil barunya. Ya, Mama membeli mobil untuk Rangga.
Rangga mengetuk pintu kamar. Semua lamunan yang ku susun rapi semenjak tadi buyarlah sudah. Berharap akan menjadi kenyataan.
“Kau sudah siap Airin?” tanyanya setengah berteriak dari balik pintu. Dengan tergesa-gesa aku mengambil make-up memperbaiki gumpalan bedak yang tidak merata. Sesaat kemudian berlari membuka pintu.
Rangga terlihat sangat tampan. Kemeja biru kotak-kotak dan celana jeans hitam membuatnya tampak keren. Aku suka gayanya.
“Kau sangat cantik malam ini, Airin.” Tapi, entah mengapa jantung ini berdetak sangat cepat sekali mendengar pujian memabukkannya. “Aku bangga punya adik cantik sepertimu,” senyumnya merekah. Alamak, kaki ku hampir saja patah. Apakah aku jatuh cinta padanya? Aku menggeleng cepat. Ya ampun, apa yang ku pikirkan selama ini? Rangga adalah saudara ku. Saudara tiriku.
Rangga membukakan mobil untukku. Tapi tak menggandeng tanganku seperti yang tengah kukhayalkan sebelumnya. Aku hanyalah adik Rangga, bukan kekasihnya. Begitu bodohnya diriku mengharap cinta Rangga yang mustahil dan terlarang.
Disini adalah restoran favoritku yang paling sering kukunjungi bersama Ayah. Bagaimana ia bisa tahu kalau aku menyukai restoran ini. Restoran ini sangat dekat dengan bibir pantai. Kami berdua duduk dekat jendela terbuka. Kelap-kelip lampu di luar menambah kenyamanan suasana, apalagi suara deburan ombak pantai mendesir. Bagiku, itu adalah nyanyian terindah sepanjang pendegaranku.
“Aku sangat suka mendengar desiran ombak,” katanya seraya mengambil stik kentang goreng di tengah meja. Lalu mengunyahnya pelan.
Ia menyukai ombak, katanya. Bukankah hal ini kebetulan yang mengagumkan? Aku dan Rangga sama-sama suka ombak. Tuhan memang selalu memberikan skenario terbaik dalam perjalanan hidup setiap makhluknya. Tak sanggup lagi aku berpura-pura pada diriku sendiri. Aku benar-benar menyukai pria dihadapanku ini. Benar! Aku jatuh cinta padanya.
Desiran ombak kembali menggulung. Perasaanku bagai batu karang yang mulai membuka perlahan menampakkan mutiaranya. Malam ini bahagia mengelabui hatiku, dan perasaan milikku. Aku terpaku menatapnya. Betapa sebuah kebahagiaan bisa tercipta sesederhana ini.
***
Kau tahu, saat aku merasakan cinta yang sebenarnya, ia seperti buah matang terjatuh dari pohonnya. Cinta itu seperti buah masak di atas pohon. Ketika tiba saatnya, ia akan di petik oleh seseorang yang mau memakannya. Tapi saat buah itu terlalu matang, ia pasti terjatuh karena kemantangan itu sendiri. Hingga ia tak lagi mendapatkan kenikmatan dari si pemetik buah.
Sama seperti cinta. Saat cinta mulai timbul dari benak seseorang, sang pujaan tak bergegas menangkapnya, maka ditangkaplah oleh orang lain. Jika tidak keduanya, cinta itu akan terjatuh seperti buah yang busuk.
Ah, aku tak ingin cinta yang sedemikian itu. Tapi, kenyataan membuktikan sebaliknya.
Kemarin, saat aku mulai menikmati kegembiraan hatiku karena kehadiran Rangga, seorang wanita cantik mengetuk pintu rumah. Terang saja, aku sangat terkejut ketika ia menjawab siapa dirinya. Wanita cantik itu adalah pacar Rangga yang datang dari Turki. Mereka belajar di universitas yang sama dan di jurusan yang sama pula. Ia pindah ke Indonesia untuk menjalankan bisnis Ayahnya. Begitu kata Rangga.
Awalnya aku tak percaya, namun ketika Rangga keluar dari kamarnya dan bertemu dengan wanita itu, tak dapat kuragukan lagi melihat kemesraan mereka.
Dan kau tahu apa yang saat ini kurasakan. Perasaan cemburu yang tak pernah ku alami sebelumnya. Ini benar-benar rasa sakit yang luar biasa. Seperti seekor lebah yang menyengat tubuhku. Apalagi ketika ku dengar dari Mama dan Papa bahwa sebentar lagi mereka akan menikah.
Wajah ku berubah sedemikian cepat. Paras ku yang segar langsung berubah seperti jalan raya yang sudah setahun tak dibasahi hujan. Kerontang dan berdebu. Seperti anjing kurap di sebuah kota mati yang berkeliaran dengan ekor terkulai. Aku tak punya semangat hidup hingga hari ini.
***
Impianku tentang cinta satu-satunya hanya ada pada Rangga. Walau aku tahu, ia mustahil ku miliki. Berharap Tuhan mengubah skenario kehidupanku yang tidak menyenangkan ini. Veriza, calon istri Rangga berpenampilan sederhana dan menarik. Ia pun baik dan menyayangiku seperti adiknya sendiri. Tak salah jika Rangga menyukainya.
Tapi aku membencinya. Ya, sangat membencinya.
Aku membencinya setiap kali ia mengelap peluh pada wajah Rangga. Aku membencinya ketika ia mencium mesra pipi Rangga dan tersenyum padanya. Aku membencinya setiap kali ia mendapat perhatian dari Rangga, mengusap ubun-ubunnya, mengelus pipinya. Hal yang tak mungkin ku peroleh darinya.
Aku menyadari keadaanku sekarang, tapi aku tak dapat menerimanya. Memendam perasaan terlarang ini bagai kumpulan jarum bersarang dalam hatiku. Apalagi setelah tersibak kabar tentang pesta pernikahan Rangga dan Veriza. Aku hampir sesak napas dibuatnya.
“Ini pakaian yang cocok untuk pesta pernikahanmu nanti, Rangga. Sangat istimewa kan?” sahut Mama memamerkan sebuah jas hitam tebal dan kemeja biru bergaris hitam ke hadapan Rangga.
“Apa? Kak Rangga mau menikah? Dengan siapa? Kak Veriza? Mengapa tak ada yang cerita padaku? Kalian jahat!” teriakku gamang berusaha tak mengeluarkan air mata sedikit pun. Mama dan Rangga saling bertatapan, entah apa yang dipikirkan oleh keanehan tingkah lakuku. Segera aku berlari menuju kamar dan menjatuhkan diri di atas ranjang.
Seseorang memasuki kamarku yang tak terkunci. Aku tahu itu suara langkah kaki Rangga. Bahkan langkah kaki Rangga pun lebih kukenali daripada Ayahku sendiri. Ia mengampiriku dan duduk di tepi ranjang. Berusaha ku hapus air mataku. Semoga ia tak tahu apa yang kuarakasan saat ini.
“Maafkan aku, Airin. Aku tidak bermaksud untuk membuatmu marah. Aku sangat menyayangimu. Tak mungkin aku membiarkanmu seperti ini. Kau tahu, pernikahanku dengan Veriza adalah hadiah untukmu. Hadiah ini akan kuberitahukan saat dihari ulang tahunmu nanti. Bukankah kau bahagia mendengarnya, Airin?”
Hadiah, katanya. Tidak! Aku benci mendengarnya. Itu adalah berita terburuk yang pernah ku dengar selama hidupku.
“Sayang sekali, Mama tak tahu tentang berita yang kurahasiakan ini padamu. Maafkan aku, Airin.” Rangga mengusap ubun-ubunku. Lembut sekali. Seakan ingin tertidur saja di pangkuannya. Oh Tuhan, mengapa kau berikan aku cinta kepada orang yang tak mungkin kunikahi. Kau telah memberikanku cinta yang salah, rintihku.
***
Hari ini, kebahagiaan tercipta untuk Rangga dan penderitaan akan tercipta untukku. Tapi, bukankah cinta sesuangguhnya adalah membuat orang yang kita cintai bahagaia? Ikhlas melepaskan meski tak memiliki. Bagaimana aku bisa memiliki hati mulia seperti itu? Aku tak bisa melepaskannya. Aku masih mencintai kakak tiriku.
Aku duduk termangu menyaksikan orang-orang berlalu lalang disekitarku. Tak punya semangat hidup. Dari arah yang tak begitu jauh, kulihat seorang pangeran dan putri berdiri menyambut para tamu. Aku hanya akan duduk di sini sampai pesta pernikahan itu selesai.
“Kau pasti bosan melihat pemandangan di rumahmu sendiri. Bagaimana kalau kita jalan-jalan keluar,” suara seorang pria dengan aksen barat yang dipakainya. Aku memalingkan wajah ke sumber suara. Siapa pria bule ini? Matanya indah kecokelatan dengan style yang cukup mengagumkan.
“Kau siapa?” Ia mengulurkan tangannya.
“Aku Cherry, adik Veriza.” Mendengar perkenalan singkat itu, aku mengabaikan uluran tangannya. Aku tak mau mengenal siapa pun yang berurusan dengan wanita itu. Apalagi ia adalah adiknya.
“Tak apa kau mengabaikan tanganku. Bolehkah aku duduk di kursi ini?”
Aku sama sekali tak menggubris ucapannya. Kalau mau duduk terserah!
“Aku tahu, kau tak suka pada kakakku itu,” katanya. Aku tercengang. Kenapa ia bisa tahu? Apa dia mencoba membaca pikiranku? Aku berusaha menahan rasa gugup. Ku harap ucapannya itu hanya bercanda.
“Mengapa kau berkata seperti itu?” Aku membuka mulut. Rasa penasaranku ternyata lebih kuat.
Ia terdiam sejenak. Aku mencoba menelaah kata yang ingin dilontarkannya.
“Matamu tak akan pernah berbohong.”
Aku memalingkan wajah.
“Ketika ombak menghantam karang, ia akan tetap ikhlas meski laut membawanya pergi. Kau tahu, keikhlasan akan membawa pada kebahagiaan. Ombak akan terus menari-nari dengan karang di atas laut. Sebuah tarian penerimaan,” tuturnya lembut.
Aku tak paham. Sama sekali tak paham mengapa ia berkata demikian.
“Apa maksudmu?”
“Kau pernah merasakan kehilangan sebelumnya?”
Aku berpikir sejenak, lantas mengangguk.
“Bolehkah aku tahu, kau pernah kehilangan siapa sebelumnya? Maaf, aku tak bermaksud untuk mengungkit masa lalumu.” Raut wajah Cherry selalu menyiratkan kepercayaan.
“Ibu,” jawabku tegar. “Aku pernah kehilangan ibuku.”
“Hidup ini seperti roda berputar. Kadang kita di atas, kadang di bawah. Kadang kita bahagia, kadang kita sedih. Suatu ketika dapat berjumpa, dan suatu saat dapat berpisah. Itulah roda kehidupan. Dan apa yang terjadi padamu hari ini, bukanlah tanpa alasan. Mungkin kali ini kau diajarkan untuk bisa melepaskan dan ikhlas menerima. Itulah tarian penerimaan. Esok lusa, pelajaran kau akan lebih berkelas lagi. Percayalah.” Ia tersenyum menatapku.
Aku terbungkam, lama sekali setelah kalimat-kalimat itu dilontarkan padaku. Seperti berlapis plester mengunci rapat mulutku. Aku menatap pengantin baru. Rangga terlihat sangat bahagia bersama Veriza. Dan beralih menatap wajah Cherry. Apakah ia seorang malaikat kiriman Tuhan yang menjelma sebagai adik Veriza untuk menghiburku? Atau hanya sosok manusia biasa yang penuh pengalaman akan arti hidup? Atau jangan-jangan, Tuhan mengirimkanku manusia langka sebagai pengganti Rangga dalam hidupku. Sungguh, teka-teki ini membuatku gila.
Pada akhirnya, aku mengerti. Meski sakit, aku harus rela dan ikhlas menerima kenyataan ini. Seperti ikhlas menerima kepergian Ibu yang tak akan pernah kembali sekeras apa pun caranya aku meminta.
***
0 komentar: