Jurang Nestapa
Menelungkup dalam keputusasaan. Tak ada lagi harapan hidup, semua musnah ditelan penyesalan. Ya, aku benar-benar menyesal. Di balik jeruji besi ini, aku hanya bisa melamun, tidur, melamun, tidur, dan yang paling parah meringis kesakitan. Hanya kesendirian dan kesepian menemani kebodohanku. Rambutku yang kusam terurai panjang menutupi seluruh raut wajahku yang penuh dosa dan nista. Tak terhitung berapa banyak kutu yang beranak pinak berpesta pora dikepalaku. Tak peduli suara gaduh disekitarku, suara orang-orang depresi, dan suara orang-orang diseret polisi hingga terkapar masuk ke dalam penjara keabadian ini. Malu! Masih pantaskah aku berkata malu?
Masa-masa itu berkelebat di sarang otakku. Mataku terlalu sayup menerawang kembali sisa-sisa kebahagiaan yang ku rajut bersamanya. Aku tak pernah dendam kepadanya. Perasaan itu masih sama. Tak pernah berubah semenjak aku mengenalnya. Tapi, sangat sulit untuk memaafkan, terlalu sulit.
Masa-masa itu berkelebat di sarang otakku. Mataku terlalu sayup menerawang kembali sisa-sisa kebahagiaan yang ku rajut bersamanya. Aku tak pernah dendam kepadanya. Perasaan itu masih sama. Tak pernah berubah semenjak aku mengenalnya. Tapi, sangat sulit untuk memaafkan, terlalu sulit.
“Ta, hidup ini begitu indah, sayang,” katanya mengelus-elus rambut hitamku yang lembut. Aku bersandar di bahunya yang lebar dan dada bidangnya. Hangat tubuhnya mampu menenangkan setiap kegundahanku.
“Ya, Reno. Enam tahun telah kita jalani bersama. Apakah kau tidak ingin melamarku saja? Kita lanjutkan kisah ini ke sebuah jenjang mahligai pernikahan,” kataku lembut menatap matanya yang bak pelangi menyinari ragaku. Ia terdiam beberapa saat, kemudian mengeluarkan kalimat singkatnya.
“Aku belum siap,” ungkapnya. Aku tak marah, karena aku mengerti alasannya. “Suatu saat kita pasti akan menikah. Bersabarlah,” lanjutnya. Aku menghembuskan napas lega. Mendengar semua itu, seakan seluruh beban yang menimpa diriku lenyap seketika. Hanya karenanya aku hidup. Satu-satunya yang ku punya saat ini.
Hari-hari telah berlalu, detik demi detik ku jalani dengannya dengan penuh derita, susah maupun senang. Dialah satu-satunya yang mengajariku tentang arti kebahagiaan, arti kehidupan, dan arti cinta yang harus selalu kami nikmati. Tempat kami tak menentu, selalu berpindah-pindah. Reno tak punya apa-apa, aku pun demikian. Namun, kami selalu melengkapi. Hidup itu harus saling melengkapi. Begitu katanya ketika ia sedang memainkan gitar bututnya mengiringiku sebuah lagu.
Lampu diskotik berkelap-kelip menerangi ruangan clubing yang temaram. Dengan iringan music DJ, pengunjung berpesta pora dengan pasangannya di bawah remang-remang tak sadar diri. Aku dan Reno telah menghabiskan lima botol anggur yang berjejar di atas meja. Kepalaku agak pusing, aku mabuk nyaris tak sadarkan diri. Reno membawaku keluar dari keramaian. Suara-suara bising yang terdengar dari dalam ruangan berangsur-angsur hilang seiring dengan langkah kami yang semakin menjauh.
Aku telah berada di ranjang milik Reno ketika sadarkan diri. Lamat-lamat aku terbangun dan kepalaku masih agak pusing. Ku lihat ia tertidur di kursi tak jauh dari ranjang tidurku. Di atas meja masih terdapat empat botol minuman keras dan dua buah jarum suntik. Aku tahu bahwa kekasihku adalah pecandu narkoba dan bagaimana pun keadaannya, aku tetap mencintainya.
Enam tahun lalu, Reno menemukanku di dalam hutan terbaring lemah tak berdaya. Lima orang lelaki bangsat menghabisiku, merampok harta benda yang ku punya, dan yang paling menyakitkan diseluruh harta yang kumiliki ialah keperawananku. Pakaianku tercabik-cabik, bahkan hampir tak berbusana, jilbab yang kukenakan tak lagi menutupi kepalaku, melayang bersama keputusasaanku. Hanya dalam kedipan mata, aku telah kehilangan segalanya pada detik itu. Dan aku menganggap diriku yang dulu telah mati!
Aku tak habis pikir dengan kehidupan yang kujalani setelah menjadi seorang wanita bebas. Sangat berbeda dengan kehidupanku dulu yang penuh tuntutan keluarga. Aku tertawa lantang dan berteriak “hidupku bebas, sekarang!” Lantas penuh kebahagiaan cinta, tentu saja bersama kekasih baruku, Reno.
Malam kelam diantara kehidupan yang paling kejam. Lantas pergi begitu saja digantikan benderang yang begitu geram cahayanya. Begitulah setiap hari-hari yang kulewati tanpa pekerjaan yang berarti. Duduk, menyulut rokok, berkhayal kosong menyaksikan asap rokok menyilet di depan mata. Reno kadang pergi dan kadang tak ingat pulang. Seperti seorang pejabat kantoran saja. Ketika tiba, rayuan dan gombalannya melebihi lelaki romantis sejagat raya. Tapi aku tetap mencintainya.
“Kau harus bekerja, Reno. Ini untuk masa depan kita kelak,” tuturku di suatu malam yang dingin.
“Siapa yang mau mempekerjakan seorang seperti aku, Ta? Aku tidak bisa bekerja dengan keadaan seperti ini. Tidak lama identitasku akan terungkap. Dan kau tahu apa akibatnya? Kau akan kehilangan aku selamanya. Mendekam dalam penjara.”
“Tapi, bagaimana dengan anak kita, Reno?”
“Apa? Anak kita? Memangnya kamu hamil?” tanya Reno tak percaya.
Aku mengangguk sedih. Memikirkan keadaan Reno sudah sangat berat kujalani, apalagi dengan kehadiran anak yang berada di dalam rahimku ini.
“Itu pasti bukan anakku! Itu anakmu, Ta. Itu anakmu dengan lelaki bangsat yang pernah memperkosamu. Itu bukan anakku!” Penolakan dari Reno itu, nyaris membuatku tak sadarkan diri. Apalagi dengan keadaanku yang lemas dengan beban yang kubawa sekarang. Bening di pelupuk mataku akhirnya tumpah. Hatiku teriris lebih menyakitkan dari masa laluku yang buruk.
“Entah ini anak kamu atau bukan, tolonglah hargai kehadiran anak ini. Aku adalah kekasihmu Reno. Apa kau lupa dengan janji-janji kita? Janji untuk saling melengkapi?! Apa kau lupa!!” teriakku geram diiringi air mata menyentak kedua bahu Reno.
Reno terdiam menundukkan kepala lantas mendengarku terisak pedih. Aku memang wanita tak berdaya sekarang. Membiarkan hidupku bergantung pada lelaki yang tak jelas masa depannya. Membiarkan masa depanku melayang hanya karena nafsu birahi lelaki jinak. Apa kabar keluargaku? Saat ini, aku hanya ingin pulang. Aku ingin pulang, Ibu… Rintihku dalam hati.
Reno mendekatiku. Mengusap kepalaku dan menghapus rintihanku.
“Tenanglah, sayang. Aku tak suka melihatmu menangis. Suatu saat kita pasti bahagia dengan anak yang kau kandung ini. Dia adalah pelengkap hidup kita, sayang.”
“Benarkah kau mau menerima anak ini, Reno? Kau tak bohong kan?” tanyaku gembira.
Reno tersenyum seraya mengangguk. Aku berharap senyum tulus itu membawa ia pada janjinya.
Aku mengurungkan niat untuk pulang. Dan aku berjanji tak akan pernah pulang. Lagi pula, keluargaku pasti menganggapku telah mati. Mati dalam keadaan jasad tak ditemukan, begitu yang pernah kudengar di berita televisi. Sehingga kebaikan Reno menampungku dan memberiku ruang dihatinya.
***
Di malam itu, kami berpesta pora di bawah jembatan tempat kebiasaan kami. Menikmati semilir angin kehidupan yang meniupkan banyak kenikmatan. Seperti kenikmatan yang ku alami sekarang. Reno membawa banyak hadiah untukku. Lima botol anggur, tiga bungkus rokok, berbagai macam makanan menumpuk di sekitar kami. Aku tak tahu dimana Reno mendapatkan itu semua. Dan aku tak mau peduli, aku hanya ingin menikmati sisa kehidupanku yang penuh nestapa ini.
Ku ajak pengemis jalanan, anak-anak gelandangan bergabung bersama kami. Berbagi kebahagiaan ini, sudah sering kulakukan bersama Reno. Walau terkadang kami pun tak sanggup membiayai hidup diri sendiri. Tapi, apakah Tuhan masih mau menerima kebaikan hati kami yang penuh nista? Biarlah, aku tak peduli. Setidaknya, aku bisa melihat mereka tersenyum bersama ku.
“Kak, makanan ini dapat dari mana? Makanan ini pasti sangat mahal,” tanya seorang anak kecil kepadaku. Aku melirik Reno untuk memberikan jawaban.
“Makanlah kau. Kau tak usah banyak ngomong,” sahut Reno.
“Kalau memang ini hasil curian, mending saya cari uang sendiri untuk makan. Saya tak mau makan makanan haram,” ujar anak yang lainnya.
“Hei, anak bodoh! Kalian ini tak tahu di untung, ya. Kalian itu harusnya bersyukur di panggil makan. Kalau tidak, kalian pasti mati kelaparan. Dasar anak-anak gelandangan,” cecar Reno marah.
“Sudah, sudah Reno. Mereka kan masih anak-anak,” kataku menenangkan. “Ayo anak-anak, kalian tak usah mendengarkan kak Reno. Ayo makan sesuka hati kalian.”
“Tidak, kak. Kata Ibu saya, kita tak boleh memakan makanan yang tak jelas asal usulnya. Yuk teman-teman, kita pulang saja. Ini pasti makanan curian!”
“Hoi. Dasar anak jalanan. Belagu amat. Terserah dah,” gerutu Reno sembari mengunyah makanannya.
Aku terdiam menatap Reno.
“Yo’ makan, Ta! Kamu tak boleh lapar. Kasihan anak dalam perutmu itu.”
Aku menggeleng, “Aku udah kenyang, Ren.”
Anak-anak itu memang benar. Selama ini Reno tak pernah memperoleh makanan dari hasil kerja kersanya sendiri. Aku tak mau bayi ini juga ikut ternodai dengan makanan haram yang ku makan. Aku tak ingin hidupnya sesuram hidupku.
Waktu terus berlalu. Dan kau tahu, apa yang Reno perbuat kepadaku? Ia mengkhianatiku. Lebih menyakitkan dari masa laluku yang pahit. Ketika aku terbangun dari tidurku, badanku terasa amat kaku, dingin, dan aliran darahku seakan berhenti. Aku menangis, merintih kesakitan. Tubuhku pun mengurus. Apa yang terjadi padaku, aku tak tahu. Reno, entah kemana dia.
Suara sirine polisi terdengar dari arah kejauhan. Sebuah surat tergeletak di atas ranjang. Aku membacanya. Tulisan Reno menyampaikan bahwa ia melarikan diri karena sebentar lagi polisi akan membawanya pergi. Dan satu lagi, ia meninggalkan sebungkus ganja dan sabu. “Ini untukmu, Ta. Kau pasti membutuhkan ini, karena di dalam tubuhmu mengalir darah kotor yang sama sepertiku. Maafkan aku, Ta.”
“Tidak! Ini tidak mungkin. Aku harus pergi dari sini. Polisi pasti sedang mencariku!” Dan semuanya terlambat. Kini, aku diseret, dituduh, dihina oleh banyak orang. Aku mendekam dalam penjara.
***
Kenangan kelam itu buyar manakala seorang polisi membuka sel tahanan.
“Ada yang ingin bertemu denganmu,” katanya tanpa senyum tersungging sedikit pun. Aku terperangah heran. Entah siapa yang datang menemui wanita malang ini. Tujuh tahun berada dalam tahanan, selama itu pula tak seorang pun datang menjengukku seakan aku hilang dan sebatang kara. Menjalani hukuman mengenaskan dalam sel, meratapi kesakitan tiada tara dengan obat-obatan yang dimasukkan Reno ke dalam tubuhku.
Aku berjalan perlahan, nampak seperti orang gila. Seorang gadis berkepang dua bersama dengan seorang lelaki duduk di kursi tamu. Lelaki itu menoleh ke arahku. Dia…Roy.
“Lihat, Sinta. Itu Ibumu,” sahut Roy kepada gadis di sampingnya.
“Sinta…?” kataku tak percaya. Gadis kecil itu terlihat ketakutan dan bersembunyi di belakang Roy. Aku tahu, ia tak mungkin mau mengenal orang sepertiku. Wajah dan rambutku tak lagi terawat.
“Sinta, jangan takut. Dia seorang Ibu yang baik. Ayo temui dia, dan berikan ia pelukan,” bujuk Roy.
Sinta menggeleng.
“Tak apa-apa Roy. Aku sangat berterima kasih karena telah membesarkan Sinta selama 7 tahun ini. Tak lama lagi, hidupku akan berakhir. Sinta sudah seharusnya mendapatkan kasih sayang dari seorang Ibu. Kau adalah sahabatku satu-satunya. Kau pantas menjadi Ayah yang baik untuk Sinta, dan aku sangat berharap kau dapat memberikan ia seorang Ibu yang tulus menyayanginya.” Aku berusaha tersenyum padanya. Menutupi segala kesedihanku.
“Kau pasti akan keluar dari penjara ini. Percayalah. Aku akan memenuhi semua harapan-harapanmu. Kau baik-baik. Cobaan ini pasti akan segera berakhir.”
“Ta, aku ke sini selain ingin mempertemukanmu dengan Sinta, aku juga ingin memberimu kabar.”
“Kabar apa, Roy? Apa yang terjadi?”
Ia terdiam cukup lama. “Maafkan aku harus memberimu kabar buruk ini. Reno ditemukan tewas terbunuh dan mengenaskan. Organ tubuhnya terpisah, dan kemarin kepalanya ditemukan di sungai.”
“Astagfirullah.” Aku tak sanggup berkata apa-apa lagi. Reno kekasih yang masih ku cintai harus menanggung semuanya dengan sulit.
Aku kembali memandangi Sinta. Roy membujuk Sinta agar aku bisa memeluknya. Dengan hati-hati, Sinta berjalan menghampiriku. Aku tersenyum merentangkan tangan. Dia pun mulai tersenyum memandangiku. Aku memeluknya. Air mataku benar-benar tumpah setelah mengering begitu lama. Perasaan bahagia yang tak pernah kurasakan sebelumnya.
Esoknya, tersibaklah sebuah kabar, “seorang pecandu narkoba mati bunuh diri di dalam sel tahanan.”
Nurfadhilah Bahar
0 komentar: