Belajar Jurnalistik Tak Kenal Siapa

10:05 PM Unknown 2 Comments

Suasana pelatihan jurnalistik dan pengelolaan database daring nasional yang digelar oleh MPI Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Diikuti sekitar 6 MPI PWM dan 16 MPI PDM di Nusantara.
Tujuan saya berangkat ke kota Pare-Pare (masih bagian dari Sulsel) sebenarnya memiliki beberapa motif. Selain mengikuti Pelatihan Jurnalistik yang digelar Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) Pimpinan Pusat Muhammadiyah selama tiga hari (28-30 July), saya ingin jalan-jalan sebentar. Seharusnya saya sudah berada di Luwu Utara selasa kemarin, tapi berhubung saya baru keluar dari rumah sakit, saya tak diizinkan untuk pergi terlalu jauh. Takut akan ada yang rindu, sepertinya.

Makassar membosankan. Bikin sesak. Suka macet. Apalagi kampus saya dipenuhi oleh mahasiswa yang mau ujian tutup. Sementara ujian hidup saya belum kelar-kelar, hehe. Belajar sambil jalan-jalan di luar daerah mungkin menarik. Tapi jangan belajar sambil jalan beneran, nanti kesandung. -,-

Pikiran saya sebelum berangkat, pelatihan jurnalistik oleh MPI PP Muhammadiyah pasti para pesertanya kebanyakan orang-orang yang sudah berumur, level Ayahanda gitu. Tapi masa iya mereka masih mau ikut pelatihan jurnalistik? Dan nyatanya, memang benar. Para peserta muda seperti saya masih kalah dengan mereka yang sudah tua. 

Saya sangat senang dengan masyarakat Muhammadiyah di berbagai daerah dan wilayah di nusantara karena masih peduli dengan perkembangan era digital dan publikasi saat ini. Keberadaan media massa, baik cetak maupun online membuat masyarakat berbondong-bondong tidak hanya mengonsumsi tetapi juga mempelajarinya. Saya jadi berpikir bahwa jurusan jurnalistik akan benar-benar punah. Semua orang bisa jadi jurnalis tanpa mengikuti pendidikan formal. Orang-orang yang direkrut menjadi wartawan di sebuah media tidak lagi dilihat dari latar belakang mereka, tetapi mempertimbangkan skill yang dimiliki. Itulah alasannya kenapa pelatihan jurnalistik ini gencar-gencarnya dilakukan di setiap lembaga-lembaga. 

Mengikuti pelatihan seperti ini bukan yang pertama kali tentunya. Lagipula materi-materi yang disampaikan dalam pelatihan ini sudah kukhatamkan pada mata kuliah saya. Beberapa pertanyaan yang diajukan peserta sekiranya sudah bisa kuprediksi jawabannya jika itu berkaitan dengan jurnalistik. Lalu mengapa saya masih tetap ingin belajar? Harus dipahami, manusia memang selalu merasa tidak puas dengan apa yang dimilikinya. 

Seseorang nge-chat saya di WA, “Dek, bertanya nah. Keluarkan semua ilmu ta’.” Saat itu saya sedang menyimak salah satu materi dari Ketua MPI PP Muhammadiyah. Saya lalu berpikir bahwa saya ikut pelatihan bukan untuk pamer kehebatan, pamer ilmu atau memperlihatkan sudah sejauh mana kiprah saya di bidang ini. Tidak sama sekali. Saya datang jauh-jauh karena merasa masih butuh banyak asupan ilmu. Menyegarkan ingatan saya kembali tentang jurnalistik dan tentu dalam kaitannya dengan persyarikatan. Karena saya lahir dari keluarga Muhammadiyah, dibesarkan di lingkungan Muhammadiyah, teman-teman saya kebanyakan orang Muhammadiyah, maka saya juga harus turut dalam mengembangkan persyarikatan Muhammadiyah. Tentu dengan skill dan bidang yang saya geluti. 

Kembali lagi, semangat anggota MPI sebagai penyalur informasi seputar Muhammadiyah patut diacungi jempol. MPI adalah lembaga yang berdiri di bawah naungan Muhammadiyah. Yang tentu orang-orang di dalamnya bekerja ikhlas tanpa mengharapkan imbalan apapun. 

Wajah-wajah para peserta jurnalistik.
Ini kali pertama saya mengikuti pelatihan jurnalistik yang diikuti oleh orang-orang yang memiliki latar belakang berbeda-beda. Namun, yang membuat saya sedih, dari puluhan orang, peserta perempuan hanya segelintir. Tidak sampai sepuluh orang. Apa yang menjadi sebab? Di kampus saya, perempuan yang aktif di media kampus itu lebih banyak daripada laki-laki. Terbukti tiga tahun berturut-turut, Direktur Pemberitaan (Pimpinan Redaksi) UKM LIMA Washilah  (media kampus UIN Alauddin Makassar) adalah seorang perempuan. Banyak yang bertahan dan tak sedikit pula yang mundur perlahan-lahan. 

Kerja-kerja jurnalistik memang kerja-kerja ikhlas. Mereka yang mundur adalah yang tidak punya tujuan jelas mengapa ia harus bertahan. Apalagi perempuan. Saya bertahan di bidang ini bukan karena ingin menjadi jurnalis profesional, menghabiskan hidup saya untuk mencari berita. Saya bertahan karena mau belajar. Belajar bukan berarti harus menjadi sesuatu yang sudah dipelajari. Tapi, belajar untuk mengajarkan sesuatu itu kepada orang lain. Makanya, proses itu penting. Yang sia-sia jika kita berhenti di tengah jalan, menyerah dan akhirnya tidak mendapatkan apa-apa. 

Intinya, jurnalistik itu bisa dipelajari oleh siapa saja. Anak muda, orang tua, laki-laki atau perempuan bisa turut andil di dalamnya. Tak kenal siapa orangnya, tak kenal berapa umurnya.

Pare-Pare|29/07/2017|12:12 WITA

2 komentar:

Sebuah Renungan Pagi Ini

5:14 PM Unknown 0 Comments

Tulisan ini adalah hasil renungan saya pagi ini. Kemarin, saya dikejutkan penawaran seorang dosen. Dosen yang selalu memarahi saya karena selalu lupa memberikan kontak telepon dan lupa menyimpan kontak teleponnya. 

“Kenapa tidak angkat telepon saya?” katanya saat berpapasan di Masjid.

Saya malah cengengesan. “Telepon yang mana ya, Pak?”

“Wah ini nih, ciri-ciri mahasiswa durhaka. Berkali-kali di suruh save nomor saya, tidak pernah di save. Mentang-mentang sudah mau lulus, dosennya dilupakan.” 

Aduh, terkutuklah saya. Saya lalu berpikir, sebelum itu ada nomor tak dikenal masuk ke handphone-ku. Barangkali itu nomornya Bapak.

“Maaf, maaf, Pak. Iya, iya, saya save.” 

Setelah percakapan yang tak penting itu, Bapak lalu menawarkan sebuah proyek. Proyek menulis biografi seorang tokoh (maaf, belum bisa saya sebutkan siapa). Dan itu membuat saya terkejut. Jujur, saya senang, ini adalah kesempatan buat saya untuk bisa kembali menulis yang tentu bermanfaat buat orang lain dan salah satu impian mengapa saya ingin menjadi penulis. Semoga saja bisa terealisasi. Amiin...

Saya lalu berpikir, mungkinkah ini jawaban atas segala kerisauan saya akhir-akhir ini. Setiap kesusahan ada kemudahan. And that's right. John Lennon bilang, “life is what happens to you while you’re busy making other plans.” Kita tidak tahu apa rencana yang akan Allah berikan kepada kita. Rencana kita yang awalnya B, ternyata Allah kasih rencana A yang nyatanya jauh lebih baik dibanding rencana kita. Hidup tanpa GPS itu emang seru, kata Gita Savitri.

Betapa Allah memberikan nikmat yang begitu besar kepada setiap makhluknya. Kita terbangun dari tidur, lalu mengambil air wudhu dan bersujud kepadaNya. Berdo’a. Bercengkrama kepada Sang Pencipta. Kita selalu meminta, meminta, dan meminta. Allah memberi petunjuk, mengabulkan do’a, melindungi, menentramkan hati. Lantas, apa yang kita lakukan untuk membalas itu semua?

Allah menitipkan harta kepada kita, rezeki yang melimpah, jodoh yang sesuai cerminan diri kita, tapi mengapa masih banyak manusia yang tidak bersyukur? Banyak manusia yang tidak menyadari bahwa itu semua hanyalah titipan. Suatu saat semua itu akan diambil kembali. Kita yang tak menyadari lalu menangis, marah kepada Allah, menyalahkan takdir yang telah ditetapkan. Ketika kita mendapatkan kesulitan itu, diberi cobaan, barulah kita mengingat Allah, sementara di hari-hari yang sehat dikala bergelimangan harta, kita lupa beribadah. Sungguh kita makhluk yang tidak tahu diri. 

Allah itu tidak pernah tidur. Allah mengawasi kita 24 jam non-stop. Setiap kita berbuat kebaikan ataupun keburukan, malaikat-malaikat Allah tidak akan keliru mencatat apa yang telah kita perbuat. Catatan yang nantinya akan ditakar lalu ditentukan tempat kita di akhirat kelak. 

Maka berbekallah. Kita tidak tahu kapan kematian akan datang. Entah itu esok atau lusa, setahun atau dua tahun kemudian. 

Gowa|25/07/2017|07:45 WITA

0 komentar:

Keputusan Cepat Membawa Petaka

4:54 PM Unknown 0 Comments

Memutuskan untuk tetap bersamanya adalah hal yang absurd. Memutuskan untuk pergi darinya pun rasanya sangat sulit. Ini yang membuat kita kadang dilema. Tapi saya tidak pernah bermain-main soal perasaan. Dan perasaan bukan untuk dipermainkan.

Memutuskan sesuatu adalah perkara yang sulit. Setelah kejadian yang saya alami belakangan ini, saya menilai bahwa keputusan yang terlalu cepat akan membawa petaka. Bisa membuat orang lain menjadi kecewa, sakit hati, pergi, atau bahkan mati, barangkali. Kita selalu dihadapkan dua pilihan, antara ya atau tidak. Dan pilihan itu tentu ada di tangan kita. Salah sedikit, kemungkinan besar akan datang malapetaka.

Ketika kita kemudian harus memilih perihal sesuatu yang sangat rumit, yang masing-masing akan menanggung resiko besar, maka keputusan tidak harus ditetapkan saat itu juga. Sebelum memutuskan sesuatu tentu saya berpikir panjang, seribu kali. Hanya jika keputusan tidak tepat, lalu dibatalkan, itu karena keputusan belum matang.

Mempertimbangkan sesuatu, apabila kau sedang berpikir baik dan buruknya. Jika mudharatnya lebih besar daripada manfaatnya, maka tentu kau pasti akan menolaknya. Sebaliknya, jika manfaatnya lebih besar daripada mudharatnya, kau pasti akan menerima.

Maka, berpikirlah dengan matang dan putuskanlah dengan bijak.

Gowa|24/07/2017|19:46 WITA

0 komentar:

Kehilangan (?)

4:53 PM Unknown 2 Comments

http://motivaksi.blogspot.co.id/
Saat bangun dari tidurku, saya mulai menyadari satu hal. Saya tidak sedang bermimpi dan apa yang saya alami benar-benar nyata. Saya sungguh merasa kehilangan sesuatu yang pernah kuanggap akan menjadi milikku selamanya. 

Hari-hari yang kulalui tidak seperti biasanya. Kurang semangat. Sepi. Tapi saya selalu menyadari bahwa kesepian bukanlah hal yang harus dikeluhkan. Bukan pula hal yang perlu disesalkan. Tidak bisakah saya menjalani kehidupan seperti biasanya? Di saat sebelum Allah menghadirkan sesuatu itu dalam diri saya. Di saat sebelum Allah memberikan rasa kenyamanan itu dalam hati saya. Tapi dibalik semua itu, keyakinanku pada Allah lebih dari segalanya. Aku yakin janji Allah pasti akan datang.

Seperti itulah kira-kira ketika harus mengalami kehilangan. Ini bukan yang pertama, sebab Allah telah memberiku ujian yang sama sebelumnya. Tapi saya pikir ujian ini tingkatannya lebih rumit. Sementara Allah menjanjikan kedudukan yang lebih tinggi bagi setiap mukmin yang mampu melewati ujian tanpa melanggar aturanNya. Dan kejadian inilah yang membuatku sadar bahwa segala sesuatu tidak akan terjadi begitu saja. Tidak akan pernah sia-sia. Allah punya rencana yang selalu baik untuk kita. Maka beruntunglah bagi orang yang dapat memetik hikmah dari peristiwa yang dialaminya. Dan saya berharap, kau, sama seperti apa yang kulakukan.

Saya lalu teringat ketika Marya (dalam novel yang ditulis Hendrasmara—sebuah kisah yang nyata) harus kehilangan orang yang sangat dicintainya. Semangat Marya dalam menjalani kehidupan setelah kematian Pierre, suaminya tak pernah padam meski dalam dirinya sebuah hati telah remuk dan hancur berkeping-keping. Jika Marya yang masih kuat walaupun harus dipisahkan dengan suami oleh kematian, mengapa saya yang hanya dipisahkan oleh keadaan harus merenungi masa lalu dan bersedih? Tidak. Itu tidak akan kubiarkan. Biarlah semua berlalu dan yang ada hanya masa depan.

Setelah menuliskan ini, hati saya lebih segar. Semoga yang merasa kehilangan, bisa segera melupakan. Allah pasti akan menggantikan dengan sesuatu yang jauh lebih baik. 

Gowa|23/07/2017|06:47 WITA

2 komentar:

Memulai Kembali Dari Hati

3:43 PM Unknown 0 Comments

http://www.bintang.com/celeb/read/2571137
Setelah mengalami patah hati yang cukup serius, saya lalu teringat sebuah blog lama yang menanti diisi kembali. Ibarat hati yang ingin dihidupkan setelah lama mengurung diri dalam penantian. Saya bersemangat lagi untuk menulis dan ingin menyibukkan diri dengan hal-hal yang positif. Seperti melupakan masa lalu dan menata hati untuk yang lebih baik.

Sesuatu yang tidak seharusnya menjadi milik kita, tentu tidak boleh kita miliki, sekeras apapun kita meminta. Apalagi jika itu telah menjadi milik orang lain. Oleh karenanya, salah satu jalan keluar adalah ikhlas. 

Tapi ini bukan tentang masa lalu atau mengikhlaskan sesuatu, sebab segala isi hati tidak semua orang bisa mengetahui. Satu-satunya tempat terbaik untuk mengadu dan mencurahkan isi hati hanyalah Allah. 

Well, setelah membaca beberapa karangan dari para penulis novel, saya lalu berpikir betapa para penulis itu memiliki kesabaran yang luar biasa. Mereka menulis dengan tabah, mencari ide, berusaha keras agar karyanya terbit dan laku di pasaran. Ada yang menggarap novel selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Ditolak berkali-kali, direvisi berkali-kali pula. Hanya orang yang memiliki kesabaran, menghargai waktu dan disiplin yang mampu melakukannya. Dan itu semua karena mereka memulai kembali dari hati.

Di lain tempat, ada banyak pendaki yang berhasil menaklukkan gunung tertinggi. Mereka bersumpah tidak akan kembali jika tak sampai pada tujuan.  Bahkan ada yang rela menanggalkan jiwanya demi ambisi menancapkan bendera kebanggaannya di puncak gunung. Itu karena mereka memulai kembali dari hati. 

Saya lalu melihat para sarjana muda berfoto dengan memegang bunga pemberian sahabatnya, keluarganya, kekasihnya. Raut wajah sumringah terlihat jelas dan nampak kebahagiaan yang tidak terkira. Tapi coba kau lihat dibalik jas hitam usai yudisium, betapa ujian demi ujian, revisi demi revisi memenuhi otaknya. Bahkan mungkin lebih sulit karena ada yang dipersulit. Namun, semua itu karena mereka memulai kembali dari hati.

Dan sekarang, saya ingin memulai kembali semuanya. Setelah kemarin disibukkan dengan berbagai macam kegiatan, mulai dari kegiatan organisasi hingga akademik, dan kali ini sedang mengejar gelar yang tentu bagi mahasiswa tingkat akhir tak pernah lepas dengan bayang-bayang skripsi, sepertinya saya juga harus memulai kembali dari hati. Layaknya para penulis, pendaki gunung, ataukah para sarjana muda yang memulai impiannya dari hati setelah melewati masa krisis atau kegagalan. Karena semua yang kita inginkan, berawal dari hati, ikhlas dan tulus. 

Mari memulai kembali dari hati.

Nurfadhilah Bahar|22/07/2017|06.32 WITA

0 komentar: